
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan langkah strategis pemerintah dalam menanggulangi permasalahan gizi di Indonesia. Dengan target penerima manfaat seperti balita, anak-anak sekolah (SD–SMP), serta ibu hamil dan menyusui, program ini diharapkan menjadi intervensi signifikan dalam menurunkan angka stunting, gizi buruk, dan masalah kesehatan lainnya yang berakar pada ketidakseimbangan asupan makanan.
Namun demikian, kualitas dan keberlangsungan program MBG tidak bisa dilepaskan dari peran sentral ahli gizi di lapangan. Berdasarkan pernyataan Dr. Marudut Sitompul, Ketua DPP Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI) Bidang Ilmiah, idealnya dibutuhkan dua ahli gizi untuk setiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) agar kualitas menu MBG terjaga dengan baik.
Dalam kegiatan Temu Ilmiah Nasional PERSAGI 2025 yang mengusung tema “Kemandirian Ahli Gizi Mengawal Program Makan Bergizi Gratis Berkesinambungan”, Dr. Marudut menyampaikan bahwa seorang ahli gizi saat ini harus menangani 3.000–5.000 porsi makanan setiap hari.
Volume kerja sebesar ini tentu sangat berat dan berpotensi mengancam keamanan pangan maupun ketepatan gizi yang seharusnya menjadi prinsip utama dalam pelaksanaan MBG. Oleh karena itu, rekomendasi PERSAGI agar setiap SPPG diperkuat dengan dua tenaga ahli gizi patut mendapat perhatian serius dari pemerintah dan pemangku kebijakan.
Banyak yang belum memahami bahwa pekerjaan ahli gizi bukan hanya soal menghitung kalori atau menimbang bahan makanan. Dalam konteks MBG, ahli gizi memiliki peran strategis sebagai:
Tanpa keterlibatan yang cukup dari ahli gizi, program MBG bisa saja menjadi sekadar kegiatan distribusi makanan massal tanpa nilai nutrisi yang optimal.
Ketua Umum PERSAGI, Ir. Doddy Izwardy, menegaskan bahwa organisasinya terus berkomitmen mendukung program MBG, salah satunya melalui penetapan standar kompetensi bagi anggota PERSAGI yang terlibat langsung di lapangan. Hingga Juli 2025, tercatat sudah ada 53.314 anggota PERSAGI di seluruh Indonesia, yang sebagian besar tersebar di wilayah-wilayah prioritas MBG seperti Jawa Barat.
Tidak hanya itu, hasil dari Temu Ilmiah ini juga akan disusun menjadi policy brief untuk memperkuat sinergi antara akademisi, praktisi gizi, dan pemerintah. Ini adalah bentuk nyata kemandirian organisasi profesi dalam mendukung keberlanjutan kebijakan publik berbasis ilmu.
Menurut data per 1 Juli 2025, program MBG telah melayani sekitar 5,6 juta penerima manfaat melalui 1.863 SPPG yang tersebar di berbagai provinsi. Meski jumlah ini terbilang signifikan, distribusi masih belum merata, dan belum semua daerah memiliki rasio ahli gizi yang ideal.
Kondisi ini menuntut perhatian lebih dalam manajemen sumber daya manusia, terutama untuk meningkatkan jumlah ahli gizi di unit-unit pelayanan. Tanpa upaya ini, ketimpangan kualitas layanan MBG akan sulit dihindari.
Jika dihitung secara sederhana, 1.863 SPPG dengan beban kerja 3.000 porsi makanan per hari berarti ada sekitar 5,6 juta porsi makanan yang harus disiapkan dan diawasi setiap hari. Dengan satu ahli gizi per SPPG, artinya setiap orang bertanggung jawab atas ribuan porsi makanan – sebuah beban kerja yang jauh dari ideal dan berpotensi menyebabkan burnout, serta penurunan akurasi manajemen gizi.
Dengan menempatkan dua ahli gizi per SPPG, maka:
Rekomendasi ini juga sejalan dengan prinsip evidence-based policy, di mana kebijakan publik harus dibangun atas dasar data, kapasitas tenaga kerja, dan prinsip keberlanjutan.
Implementasi Program Makan Bergizi Gratis tidak hanya bisa diserahkan pada sektor kesehatan saja. Diperlukan pendekatan intersektoral yang melibatkan sektor pendidikan, sosial, pertanian, bahkan BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) dalam penyediaan bahan pangan lokal.
Misalnya, sekolah sebagai tempat distribusi MBG perlu diberi pelatihan dasar tentang keamanan pangan dan sanitasi, sehingga proses penyajian bisa sesuai standar. Di sisi lain, sektor pertanian lokal bisa diberdayakan untuk menyuplai bahan pangan bergizi, segar, dan berkelanjutan. Dengan begitu, MBG tidak hanya memberi makan, tetapi juga menggerakkan ekonomi lokal.
Kolaborasi seperti ini harus dibangun dari awal dengan koordinasi lintas kementerian dan lembaga, dengan tetap menjadikan ahli gizi sebagai ujung tombak dalam penentuan standar mutu gizi.
Program Makan Bergizi Gratis bukan sekadar inisiatif pembagian makanan. Ia adalah investasi jangka panjang bagi kualitas sumber daya manusia Indonesia. Dengan memastikan kehadiran ahli gizi dalam jumlah yang memadai, maka kualitas layanan akan terjamin, dan potensi keberhasilan program pun meningkat.
Sebagai mahasiswa, tenaga kesehatan, maupun bagian dari masyarakat sipil, kita perlu terus mendorong agar kebijakan yang menyangkut gizi publik ini tidak hanya berkelanjutan, tetapi juga bermartabat dan berbasis ilmu.
Mahasiswa Unversitas Ahmad Dahlan